Estetika Banal: Mengenali Keindahan dalam Kehidupan Sehari-hari Dari, Melalui, dan Untuk Manusia
Studi kasus pengalaman estetik dalam film Lady Bird (2017) karya Greta Gerwig
Abstrak
Tulisan ini menjelaskan mengenai konsep estetika banal, sekaligus menawarkan banalitas atau yang banal sebagai suatu kategori estetis, yang dilatarbelakangi oleh ketidakcukupan estetika klasik/konvensional dalam menjelaskan pengalaman estetis yang dirasakan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Penulis menyajikan selayang pandang mengenai estetika banal dan perkembangannya pada skena seni kontemporer barat dan skena fotografi lokal melalui sosok Erik Prasetya. Kemudian, penulis merefleksikan pengalaman estetik pribadinya yang serupa, akan yang banal, melalui analisis film Lady Bird (2017) karya Greta Gerwig. Dalam tesis akhir, penulis mengajukan estetika banal sebagai estetika yang ‘merakyat’; dalam arti estetika banal merupakan sebuah pendekatan estetika yang mampu secara universal dan seutuhnya menggenggam pengalaman estetis yang dirasakan oleh semua umat manusia, terlepas dari dimana ia berada dan kelas sosialnya.
Kata kunci: estetika banal, banalitas, estetika keseharian, vernakular, Erik Prasetya, Lady Bird
Ketidakcukupan pada estetika
Apabila kita membicarakan mengenai estetika — yang dalam kultur populer biasanya lekat dengan filsafat keindahan dan kesenian (Suryajaya, 2016) — maka yang akan terlintas dalam pemikiran kita adalah karya-karya agung: lukisan-lukisan termasyhur, bangunan-bangunan megah, serta patung-patung yang dipahat sedemikian rupa sempurna. Saat kita diminta untuk mencari yang “estetik”, kebanyakan dari kita mungkin akan langsung terpanggil untuk mencarinya di museum, pameran seni, lanskap alam yang terkenal, taman-taman indah, serta tempat-tempat grandeur yang tidak dapat diakses oleh semua orang. Di kala kita harus memikirkan konsep-konsep dan kategori estetik dalam konteks filosofis, maka yang akan terpikir adalah konsep-konsep estetik klasik yang sudah ada: sublime, picturesque, beauty-ugly, catharsis, ugly, horror, disgust, pleasure-displeasure dan lain sebagainya — konsep estetik yang menurut saya terlalu konvensional, terlalu western-centric, terlampau tinggi secara idealistik, dan sejujurnya, tidak cukup untuk menggambarkan kepenuhan keindahan pada pengalaman manusia secara universal.
Konsep estetika klasik-konvensional yang telah saya sebutkan saya berani katakan ‘tidak cukup’ karena konsepsi akan keindahannya (beauty) yang masih sangat kaku dan baku. Konsep-konsep estetika klasik ini berkembang bersama dengan peradaban barat, yang sangat mengagungkan standar-standar tertentu dalam keindahan seperti keteraturan, harmoni, kesempurnaan, ketepatan dan keseimbangan ukuran, dan lainnya. Dengan demikian, konsep estetis ini juga bersifat western-centric atau barat-sentris: yang dianggap “indah” adalah kebudayaan barat dan ras kulit putih, yang dilanggengkan melalui penindasan dan eksploitasi ras kulit berwarna di wilayah-wilayah koloni. Oleh karena itu, konsep-konsep estetis barat ini ketika diterapkan dalam konteks skena dunia kedua atau ketiga akan cenderung bersifat orientalis dan menuntut standar-standar ideal penindas kepada yang tertindas. Selain itu, konsepsi estetis dan kesenian barat yang tumbuh bersama dengan feodalisme, monarkisme dan kapitalisme juga menciptakan sebuah kondisi dimana hal-hal yang estetik dan “nyeni” hanya dapat dinikmati oleh kalangan masyarakat kelas atas, dimana karya-karya seni biasanya disimpan dan ditampilkan di dalam istana, katedral dan tempat mewah lainnya. Sementara itu, masyarakat kalangan bawah sama sekali tidak memiliki akses terhadap estetika dan kesenian. Bahkan, kehidupan mereka dianggap tidak berharga dan sama sekali tidak memiliki nilai keindahan. Dari latar belakang historis inilah, saya merasa bahwa ada persoalan kelas dan akses pada pemahaman estetik klasik-konvensional yang berkembang bersama peradaban barat, menjadikannya tidak mencukupi untuk “menggenggam” sepenuhnya energi pengalaman dalam kehidupan manusia, khususnya di kalangan masyarakat kelas bawah dan skena masyarakat dunia kedua-ketiga poskolonial.
Selain problem historis, konsep estetika yang sudah ada secara teoritis juga cenderung terlalu mempolarisasi spektrum estetika. Memang betul bahwa konsep estetika yang sudah ada tidak hanya mengenali keindahan, tetapi juga mengenali konsep-konsep yang bersifat negatif seperti displeasure, horror, disgust dan lain sebagainya. Tetapi, masalah dari konsep estetika yang terlampau biner ini adalah bahwa pada akhirnya estetika tidak mengenali atau mengapresiasi suatu skena atau objek yang moderat/biasa-biasa saja/ada di tengah-tengah. Konsep estetika yang ada hanyalah yang luar biasa, yaitu antara yang sangat indah atau yang sangat jelek, seperti dalam konsep beauty-ugly atau pleasure-displeasure. Lantas, kita membutuhkan sebuah konsep estetika baru yang mampu memahami perasaan keindahan dalam manusia secara penuh dan universal, termasuk objek atau skena yang paling biasa sekalipun. Fungsi inilah yang ditawarkan Erik Prasetya dalam konsep estetika banal.
Banalitas sebagai kategori estetik dan rekognisi terhadapnya dalam seni kontemporer Barat
Sebelum merumuskan banalitas sebagai kategori estetik — yang merupakan landasan dari proposal akan estetika banal ini — kita perlu mendefinisikan “estetika” secara terlepas dari seni dan keindahan konvensional. Maka disini saya mendefinisikan “estetika” melalui etimologinya, yaitu dari kata Yunani aisthetikos yang artinya ‘berkenaan dengan persepsi’ (Suryajaya, 2016). Melalui definisi ini, kita dapat memehami estetika sebagai segala hal yang berkenaan dengan persepsi inderawi manusia, yang kemudian dapat kita konsepsikan melalui perasaan-perasaan yang ditimbulkannya. Perasaan-perasaan yang ditimbulkan oleh persepsi inderawi inilah yang saya sebut sebagai pengalaman estetis, yang bersamanya memiliki sebuah kategori estetik tersendiri. Inilah yang saya definisikan sebagai estetika. Dengan demikian, terdapat dua variabel yang saya gunakan dalam mendefinisikan estetika: persepsi inderawi partikular individu, serta perasaan dan properti mental lainnya yang ditimbulkan oleh persepsi inderawi tersebut. Bersamaan, kedua variabel tersebut membentuk pengalaman estetis. Dengan kata lain, pengalaman estetis menurut saya adalah keterhubungan antara perasaan individu dengan persepsi inderawinya. Keterhubungan ini memampukan manusia untuk mengenali apa yang estetik, dan yang estetik ini tidak harus selalu indah dalam suatu standar kaku.
Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan banalitas atau yang banal? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V Daring, “banal” didefinisikan sebagai ‘kasar (tidak elok; biasa sekali’. Maka secara harfiah sesuatu yang banal adalah sesuatu yang sangat biasa, bersifat kasar (apa adanya, tidak diperindah), tidak elok/indah, dan tidak memiliki muatan apapun. Sekilas, definisi ini terkesan oxymoron atau kontradiktif dengan estetika yang berkenaan dengan keindahan dan kesenian. Tetapi perlu diingat bahwa dalam tulisan ini saya mendefinisikan estetika terlepas dari keindahan dan seni secara konvensional, melainkan melalui pendekatan pengalaman estetik dan perasaan manusia yang sudah saya jelaskan pada paragraf sebelumnya.
Lantas, apa itu estetika banal? Bagaimana yang banal bisa menjadi kategori estetik? Bagaimana awal mula dan perkembangannya? Secara mudahnya estetika banal dapat didefinisikan seperti ini: estetika banal adalah terciptanya pengalaman estetis dari objek-objek dan skena yang sehari-hari, bersifat biasa sekali, seringkali tidak memanjakan mata, kasar dan apa adanya.
Ricci (2021) menyadari permulaan tren akan estetika banal pada seni kontemporer. Pada seni populer-kontemporer pasca gerakan Avant Garde, dimana konsepsi akan keindahan yang kaku mulai luntur dan bergerak kepada tren yang lebih relatif-subyektif, kita seringkali melihat sebuah karya senin yang sangat biasa saja, sehingga kita mempertanyakan apabila karya tersebut benar-benar merupakan karya seni. Seringkali juga, kita akan merasa bahwa kita mampu menciptakan karya yang serupa (saking banalnya). “Masa yang seperti ini disebut seni? Aku juga bisa buat sendiri di rumah!” menjadi salah satu ekspresi yang sering kita dengar dalam skena apresiasi seni kontemporer. Ricci mengidentifikasi bahwa kecenderungan dalam seni kontemporer ini — dimana karya-karya seni dianggap sangat banal dan dekat dengan pengalaman keseharian kita sehingga kita merasa dapat menciptakannya sendiri — berasal dari praktik seni kontemporer yang mulai meninggalkan teknik artistik dan mulai secara sengaja menggunakan objek-objek yang sangat biasa sebagai mediumnya.
Apabila kita telusuri fenomena ini dari awal, saya rasa kita dapat setuju bahwa tren ini dipelopori oleh Marcel Duchamp, yang pada 1917 di New York mengirimkan sebuah urinoar untuk pameran Society of Independent Artists yang berjudul Fountain (Ricci, 2021). Karya ini dianggap sebagai pelopor dari gerakan Avant Garde, yang berciri gebrakan kebaruan dalam seni dan menantang norma-norma konvensional yang berlaku saat itu. Pemilihan urinoar sebagai objek seni menurut Duchamp berasal dari hasratnya untuk bereksperimen dengan selera, dimana ia sengaja memilih objek yang paling sedikit kemungkinannya untuk disukai/dianggap indah, yakni urinoar (Rucci, 2021). Gebrakannya ini lantas menjadi pembuka untuk penerimaan banalitas atau yang biasa sebagai suatu kategori estetik dalam kesenian kontemporer, membuktikan bahwa pengalaman, perasaan dan makna estetis dapat ditemukan bahkan pada objek-objek yang paling biasa sekalipun.
Ricci (2021) juga mencatat bahwa dalam aliran pop art, khususnya dalam aliran ekspresionisme abstrak — yang saat itu sedang menjadi tren pada kehidupan intelektual New York — banalitas menjadi sebuah strategi kreatif khusus dalam seni, dimana para seniman menggambarkan ekspresi individu dan fragmen realitas mereka melalui penggunaan gambar dan objek sehari-hari dalam karyanya. Seniman-seniman ini antara lain adalah Robert Rauschenberg, yang dalam seri karyanya yang berjudul Combine (1954–1964) mengombinasikan lukisan dengan pahatan dengan menempelkan objek sehari-hari seperti dasi ke dalam kanvas yang dilukis. Ada pula Jasper Johns, yang dalam karyanya bereksperimen dengan konsep-konsep dan imaji-imaji yang seringkali kita lewati dalam kehidupan sehari-hari, seperti peta, huruf, angka, dan bendera, yang kemudian diabstraksikan sedemikian rupa olehnya agar simbol-simbol tanpa makna yang awalnya hanya memiliki fungsi visual dapat bergeser menjadi makna estetis (lihat Three Flags (1958)).
Bagaimanapun, rasanya kita semua mengenali bahwa seniman yang telah berhasil menjadikan estetika banal sebagai ciri khasnya adalah Andy Warhol. Karya-karyanya, yang menggunakan teknik screen-printing, memiliki ciri warna-warna yang mencolok serta pola yang berulang-ulang, dan biasanya menggambarkan objek yang biasa saja dan mudah dikenali, seperti visual produk-produk konsumsi sehari-hari ala iklan komersil (lihat Big Campbell’s Soup Can 19c (Beef Noodle), Brillo Box, Campbell’s Soup Cans, Coca-Cola, Green Coca-Cola Bottles, 100 Cans, 3 Coke Bottles) atau selebritas dan figur publik yang dikenal luas oleh masyarakat (lihat Red Lenin, Mao, Orange Prince, Eight Elvises, Ethel Scull 36 Times, Reigning Queens, Shot Marilyns, Marilyn Diptych, Ingrid Bergman with Hat, Ingrid Bergman as the Nun). Ekspresi seni Warhol ini menjadi representasi dari kejenuhan yang datar dari pola yang berulang-ulang dalam kultur komersialisme, konsumerisme dan prduksi massal pada kapitalisme Amerika pasca revolusi industri. Bersamaan dengan itu, karyanya yang memiliki pola template monoton dan berulang-ulang juga bersifat subersif terhadap norma keseniaan pada umumnya bahwa suatu karya seni wajib orisinil, bersifat inovatif dan sepenuhnya baru (Ricci, 2021). Melalui karya-karyanya yang mencolok tersebut, Warhol mampu menciptakan sebuah ciri khasnya tersendiri dalam skena pop art kontemporer.
Estetika banal menurut Erik Prasetya
Hampir satu abad setelah Fountain karya Duchamp, inkorporasi yang banal terhadap seni dan estetika masih terus berlanjut dalam berbagai skena hingga akhir-akhir ini, katakanlah karya-karya Duane Hanson atau Banality karya Jeff Koons. Tetapi, selain seniman-seniman barat tersebut, estetika banal juga digunakan dan dikembangkan oleh seniman lokal tanah air. Salah satunya adalah fotografer jalanan kawakan Erik Prasetya, yang dikenal melalui karya dokumenter jurnalistiknya “JAKARTA Estetika Banal”, dimana ia secara pribadi menamakan model pendekatan fotografi jalanannya sebagai Estetika Banal atau ‘Banal Aesthetics’
Konsepsi Erik ini diinspirasi oleh pergulatannya pada tahun 80-an di Jakarta dengan segala keruwetan dan polusinya. Dalam TEDx Talks (2019,) Ia mengatakan bahwa kehidupan di Jakarta membuatnya kehilangan rasa manusiawinya, yang seringkali harus ia puaskan dengan makan di restoran-restoran mewah agar merasa “dimanusiakan” kembali. Dalam karirnya sebagai fotografer di Jakarta, ia juga menceritakan bagaimana ia merasa kebingungan mengenai bagaimana sebaiknya ia memotret Jakarta, kendati ia merasa bahwa Jakarta “lebih menarik” untuk ditelusuri dibandingkan kota-kota lainnya di Indonesia.
Satu saat, Erik terinspirasi oleh skena kereta rel listrik Jabodetabek yang berantakan dan tidak beraturan — pedagang-pedagang dan hewan di kereta, pengamen, serta penumpang yang menduduki atap gerbong. Namun, disitu justru Erik merasakan sebuah “energi” yang membentuk kota, dimana ia merasa bahwa semua estetika yang telah ia pelajari tidak mampu untuk menggambarkan perasaan tersebut. Erik kemudian terpengaruh besar oleh sosok fotografer ternama Sebastião Salgado, yang sempat datang ke Indonesia dan dibantu olehnya sebagai fixer selama 40 hari (Prasetya, 2011). Erik menemani Salgado memotret skena-skena dramatis di daerah-daerah miskin Jakarta seperti Cilincing, di mana kemudian ia menyadari bagaimana Salgado, jurnalis dan media asing, memotret Jakarta — serta kota-kota lainnya di dunia ketiga — dengan pendekatan estetika yang sudah sangat baku dan “tatapan” yang orientalis. (TEDx Talks, 2019). Ini adalah contoh kasus yang saya maksud ketika saya menyebutkan bagaimana estetika klasik dan konvensional cenderung bersifat kaku serta orientalistik. Lantas, tren dalam fotografi inilah yang berusaha untuk dilawan dan tidak dilakukan oleh sosok Erik Prasetya.
Erik, yang saat itu sangat terpengaruh oleh Salgado, sempat juga memotret Cilincing. Di sana, ia menyadari bahwa saat itu ia memotret sesuatu yang bukan kesehariannya — Cilincing adalah kelas bawah, dimana seorang fotografer kelas menengah dengan mudah akan terkejut dan menemukan sebuah sensasi “drama” baginya ketika melihat kemiskinan dan kerja keras kelas bawah. Ini dikatakan Erik sebagai pengaruh Salgado baginya (Prasetya, 2011). Erik kemudian merasa janggal untuk mencari estetika dari penderitaan orang lain. Dari sinilah, ia kemudian mengenali konsep akan yang banal. Seseorang dari kelas menengah menemukan drama ketika ia melihat kehidupan kelas bawah. Seorang jurnalis asing menemukan drama ketika ia melihat kehidupan di dunia ketiga. Fenomena ini dikarenakan itu bukanlah keseharian mereka. Skena-skena tersebut tidaklah banal bagi mereka. Bandingkan dengan fenomena ini: seseorang makan di mall atau ngopi di kafe. Mungkin tidak banyak yang kaget atau menganggapnya dramatis. Mengapa begitu? Karena bagi kebanyakan dari kita, kelas menengah, itu banal, tidak istimewa dan biasa saja.
Tadi sudah saya sebutkan bagaimana Erik kebingungan mengenai bagaimana ia seharusnya memotret Jakarta. Tatkala itu, ia yang masih mengikuti standar dan pakem-pakem baku dari estetika konvensional kesulitan untuk menemukan yang ‘menarik’ dari kesehariannya di Jakarta. Ada suatu energi yang membangun kota Jakarta, dan baginya estetika klasik konvensional tidak memadai untuk memotretnya. Disinilah estetika banal memberikan jalan baginya untuk menangkap “energi” itu. Menurutnya, estetika klasik tidak cukup untuk memotret otentisitas kehidupan sehari-hari, karena estetika banal tidak memotret drama atau peristiwa besar, melainkan memotret skena sehari-hari dalam kehidupan sang fotografer. Hubungan fotografer dengan yang dipotret oleh karena itu bersifat dialogis, tidak subjek-objek (Prasetya, 2011). Maka, inilah estetika banal menurut Erik Prasetya: pendekatan estetis, sekaligus bersamanya berbagai teknik fotografi untuk memotret peristiwa yang banal.
Dengan pendekatan estetika banalnya ini, menurut Erik, fotografi memampukan manusia untuk memahami sesama manusia tidak hanya dari luaran, tetapi dari dalam pengalaman dan perasaan individu itu sendiri. Estetika banal menghargai hal-hal yang kecil dalam kehidupan, secara apadanya, dan mencari makna di dalamnya. Melalui estetika banal juga, subjek penahu terhindarkan dari prasangka-prasangka yang sifatnya apriori ketika berhardapan dengan sesama manusia, sehingga subjek dapat lebih mampu memahami manusia (TEDx Talks, 2019). Estetika banal menangkap keindahan dan perasaan estetis dalam kewajaran peristiwa secara apa adanya, sehingga tidak mendiktekan objek. Shinkle (2004) juga mencatat keberadaan estetika banal dalam fotografi kontemporer ini sebagai suatu kategori estetik, dimana estetika banal menjadi sebuah pendekatan fotografis yang “terpukau oleh keseharian, keasyikan dengan yang vernakular, serta penggunaan kacamata yang ‘biasa’ bukannya yang luar biasa”. Dengan demikian, kredo dari estetika banal adalah keterbukaan dialog antara seni dengan kasarnya realita sehari-hari, dengan tujuan inti untuk menciptakan estetika yang lebih memahami manusia dan berasal dari manusia.
Refleksi pengalaman akan banalitas dalam film Lady Bird (2017)
Pengalaman estetik saya terhadap yang banal tentu terjadi setiap saat dalam keseharian kehidupan saya. Saya dapat merasakannya setiap saya berada di kereta, menuruni tangga di stasiun, berjalan di pinggir jalan yang sering saya lalui, bagaimana saya berinteraksi dengan orang-orang di sekitar saya dan hubungan saya dengan mereka. Kendati demikian, ada satu pemicu yang memberikan saya “ilham” tertentu untuk lebih memahami, mengapresiasi dan merasakan pengalaman estetik terhadap yang banal dalam kehidupan sehari-hari. Pemicu itu adalah film drama coming-of-age Lady Bird (2017) besutan sutradara Greta Gerwig, yang merupakan salah satu film coming-of-age favorit sekaligus comfort movie saya.
Lady Bird berlatar di Sacramento, California, tahun 2002–2003. Film ini mengisahkan mengenai seorang siswi SMA tingkat akhir bernama Christine McPherson (diperankan oleh Saoirse Ronan), yang menyematkan identitas baru pada dirinya sendiri dengan nama “Lady Bird”. Lady Bird merupakan sosok yang ingin independen, keras kepala, pemberontak dan menginginkan kebebasan — ia memandang rendah kota asalnya Sacramento dan membenci sekolahnya yang merupakan sekolah swasta Katolik khusus putri. Ia berambisi besar untuk bisa kuliah di universitas-universitas liberal arts ternama di pesisir timur Amerika Serikat yang menurutnya lebih “berbudaya”. Sangat disayangkan, keluarga Lady Bird hanyalah keluarga kelas pekerja sederhana yang hidup pas-pasan dan kesulitan secara finansial. Karena alasan ini, sang ibu Marion (diperankan oleh Laurie Metcalf) menentang keras ambisi Lady Bird. Marion memaksa Lady Bird agar berkuliah di dekat rumah saja, dan berulang kali menyebut Lady Bird egois dan tidak bersyukur atas apa yang ia miliki. Konflik Lady Bird dengan ibunya yang berkepanjangan tersebut menjadi inti dari jalan cerita film ini. Kendati demikian, Lady Bird tetap gigih dalam mengejar impiannya. Ia diam-diam bersekongkol dengan ayahnya (diperankan oleh Tracy Letts) tanpa sepengetahuan ibunya untuk membantu mengisi formulir pendaftaran dan pengajuan bantuan biaya yang diperlukan untuk perkuliahan tanpa sepengetahuan ibunya.
Di antara tema konflik keluarga tersebut, penonton juga disuguhkan dengan berbagai klise dalam kehidupan remaja sebagaimana yang digambarkan film coming-of-age pada umumnya : Lady Bird yang berusaha untuk bergabung dengan ‘anak-anak keren’ di sekolahnya hingga harus meninggalkan sahabatnya Julie (diperankan oleh Beanie Feldstein), hubungan-hubungan romantisnya dengan lelaki yang pada akhirnya kandas dengan mengecewakan, perjuangannya secara akademik agar memiliki nilai yang cukup, dan kebersitegangan antara dirinya yang menginginkan kebebasan dengan lingkungan sekolahnya yang Katolik dan konservatif. Pada akhir cerita, Lady Bird akhirnya diterima di sebuah universitas ternama di New York, yang secara tidak sengaja diketahui ibunya. Sejak itu Marion tidak berbicara dengan Lady Bird, bahkan hingga enggan untuk mengantarnya ke dalam bandara. Sementara itu, di New York, Lady Bird menyadari betapa ia sesungguhnya sangat mencintai dan merindukan keluarganya dan Sacramento. Film berakhir dengan adegan dimana ia meninggalkan pesan suara untuk ibunya, mengatakan bahwa ia menghargai nama yang diberikan oleh ibunya kepadanya — Christine — serta betapa ia berterima kasih dan mencintainya.
Sebagai film drama coming-of-age biasa, Lady Bird menampilkan gambaran dan suasana kehidupan yang sangat awam dan biasa. Kehidupan Lady Bird dan keluarganya tidak spesial, mereka hanyalah satu dari jutaan keluarga kelas pekerja lainnya di Amerika Serikat yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sembari tetap bercita-cita dan bermimpi tinggi (American Dream, digambarkan saat Lady Bird berbohong bahwa rumah orang yang lebih mewah adalah rumahnya kepada temannya) di tengah sistem ekonomi yang mencekik dan mematikan. Kedua orangtuanya stress dan memiliki gangguan depresi karena tidak mampu memenuhi kebutuhan, mencari pekerjaan, membiayai kuliah anaknya, dan lain sebagainya. Kehidupan Lady Bird sebagai remaja juga tidak jauh dari klise-klise kehidupan remaja: percintaan, patah hati, berbohong kepada guru, vandalisme, “panjat sosial”, konflik dengan teman dekat, dan banyak lainnya. Lady Bird menggambarkan kehidupan secara biasa, kasar dan apa adanya saja — alias banalitas dalam kehidupan. Tetapi, salah satu hal yang unik dari Lady Bird adalah bahwa film ini tidak saja berhasil menunjukkan banalitas dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga banalitas dalam perasaan dan hubungan kita dengan orang di sekitar. Ini yang membuat Lady Bird secara khusus berkesan terhadap saya, kendati pembawaannya sebagai film yang banal alias biasa-biasa saja. Gabungan antara penggambaran hidup yang banal ditambah dengan kisah drama yang penuh dengan emosi banal menjadikan Lady Bird dengan sempurna membawakan sebuah film yang dekat dengan perasaan dan keseharian kita. Mari kita analisis lebih lanjut bagaimana Lady Bird mengangkat banalitas perasaan dalam ceritanya.
Banalitas perasaan yang digambarkan oleh Lady Bird berangkat dari tesis utama yang disampaikan oleh film ini: gagasan bahwa perhatian adalah cinta. Gagasan ini disampaikan pada adegan dimana Lady Bird sedang membicarakan mengenai esai yang ia buat untuk pendaftaran kuliah dengan kepala sekolahnya, Suster Sarah-Joan. Suster Sarah-Joan menyampaikan bagaimana menurutnya Lady Bird “sangat jelas mencintai Sacramento” karena dalam esai tersebut ia menulis mengenai Sacramento dengan penuh detail. Lady Bird, yang jelas-jelas justru ingin meninggalkan Sacramento, menepisnya dengan alasan bahwa ia hanya “memberi perhatian”. Suster Sarah-Joan kemudian bertanya kepada Lady Bird, “Bukankah menurutmu mereka adalah hal yang sama? Cinta dan perhatian?”. Dari tesis ini, kita melihat sebuah penggambaran yang sangat banal akan cinta, dimana perasaan seperti cinta dimanifestasikan sebagai perhatian dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila kita memerhatikan dengan lebih dalam, tesis ini menjadi dasar dari seluruh alur film. Sepanjang cerita, kita disajikan dengan penggambaran akan cinta melalui perhatian, yang utamanya berasal dari Marion, ibu Lady Bird. Cinta yang sifatnya “banal” ini tentu tidak selalu indah dan menyenangkan — justru dapat kita lihat bagaimana perhatian dari sang ibu bisa menjadi sangat melelahkan, berlebihan, memaksa, dan cenderung menghakimi bagi Lady Bird. Tetapi itulah bagaimana Marion mencintai putrinya. Poin ini dalam cerita merupakan sebuah pengalaman estetis tersendiri bagiku, yang secara pribadi mengalami pergelutan dengan “cinta yang banal” dari orang tuaku. Tetapi pada akhirnya, sebagaimana yang ditunjukkan pada akhir cerita, penting bagi kita untuk menyadari bahwa cinta yang banal tersebut adalah bagaimana orang tua kita mencintai anak-anaknya, dan bentuk cinta tersebut tetap menjadi bentuk cinta yang paling kuat dan berharga dalam membentuk kehidupan kita.
Tema tentang perhatian sebagai cinta ini juga dapat dilihat dalam kisah pertemanan Lady Bird, ketika ia meninggalkan sahabatnya Julie untuk berteman dengan anak-anak yang lebih kaya dan populer untuk mendekati lelaki yang disukainya. Ketika Lady Bird kemudian meninggalkan Julie di teater sendirian dan pergi ke prom sendirian, terlihat bagaimana ketika kita berhenti menaruh perhatian terhadap sesuatu, cinta kita terhadapnya juga menghilang — bahkan apabila cinta itu tidak benar-benar menghilang, cinta itu akan kehilangan maknanya karena tidak memiliki manifestasi. Perhatian adalah manifestasi tertinggi dari cinta, dan cinta = perhatian, dengan segala banalitas dan ketidaksempurnaannya. Cinta yang banal ini tidak akan selalu menyenangkan dan membahagiakan, tetapi cinta ini tekun, penyabar, gigih, setia, dan merupakan bentuk tertinggi dari manifestasi cinta.
Bersamaan dengan tesis utama akan cinta ini, Lady Bird membawa konsep banalitasnya ke langkah lebih tinggi, yaitu tidak hanya dalam konteks cinta dan hubungan dengan sesama, tetapi juga dalam keseluruhan aspek diri dan kehidupan. Banalitas ini ditunjukkan oleh karakter Lady Bird sendiri, yang kendati merupakan tokoh utama, sifatnya jauh dari sempurna. Ia juga melakukan banyak kenakalan, seperti saat ia melakukan vandalisme di mobil Suster Sarah-Joan, saat ia membuang arsip nilai guru matematikanya dan kemudian berbohong agar nilainya lebih tinggi, saat ia berbohong mengenai rumahnya yang sebenarnya, saat ia meninggalkan Julie, dan banyak contoh lainnya. Lady Bird juga dikisahkan jatuh dan dimabuk cinta hingga patah hati beberapa kali karena dibohongi dan dikhianati laki-laki yang ia cintai. Banalitas kehidupan lainnya juga digambarkan dalam krisis finansial yang dihadapi oleh keluarga Lady Bird, dimana ayahnya kehilangan pekerjaan dan bersusah payah mencari pekerjaan baru sementara harus bergelut dengan gangguang depresi. Ini adalah banalitas yang dirasakan mayoritas manusia di dunia, yang hidup sebagai kelas pekerja dan menggantungkan hidupnya pada kerja upahan. Lady Bird dan keluarganya adalah kita, kita semua pernah menjadi remaja sepertinya, dan kita semua pernah melewati segala banalitas kehidupan sebagaimana ia juga.
Titik katarsis dari seluruh banalitas dalam film ini digambarkan pada adegan penutup. Pertama, ketika Marion mengantar Lady Bird ke bandara dengan keadaan masih marah dengannya, dan sempat menolak untuk mengantarnya masuk ke bandara. Ketika ia sudah menyetir keluar dari bandara, ia menangis, berputar balik dan menuju ke bandara lagi, hanya untuk mengetahui bahwa Lady Bird sudah terbang. Suaminya memeluknya dan menenangkannya dengan mengatakan bahwa ia akan kembali. Adegan yang kedua adalah ketika Lady Bird sudah ada di New York. Ia baru saja siuman setelah pingsan karena mabuk dalam suatu pesta. Ia keluar dari rumah sakit dan memasuki sebuah gereja, dimana ia kemudian menyaksikan paduan suara dan mengalami sebuah momen epifani. Ia kemudian keluar dan menelepon ibunya — yang tidak diangkat, sehingga ia hanya Ia memasuki sebuah gereja, menyaksikan paduan suara di sana dan mengalami sebuah momen epifani. Ia kemudian menelepon ibunya — walau tidak diangkat, sehingga ia hanya meninggalkan pesan suara. Ia kemudian memperkenalkan dirinya dengan nama Christine, dan menyatakan betapa ia menghargai nama yang diberikan oleh orangtuanya itu. Ia kemudian mengenang dan membicarakan mengenai kota asalnya Sacramento — “belokan jalan, toko-toko, dan segalanya…” — dan betapa ia merasa emosional setiap kali ia melewatinya. Ia kemudian menyatakan bahwa ia mencintai ibunya, dan berterima kasih padanya.
Kedua adegan ini membentuk titik katarsis dalam film ini, yang juga menggambarkan emosi paling banal dalam kehidupan setiap manusia: kesadaran (realization) dan penyesalan (regret). Baru pada saat ia meninggalkan Lady Bird, Marion menyadari betapa ia sangat mencintai putrinya dan ingin bersamanya sebelum ia berangkat kuliah. Begitu juga dengan Lady Bird, yang saat itu sudah sangat jauh dari rumah dan keluarganya, baru menyadari betapa berharga dan betapa ia sangat mencintai keluarganya dan Sacramento. Ia yang saat itu berada dalam keadaan hangover, sendirian dalam kota besar yang asing baginya, tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan pikirannya hanya terarah pada rumah dan keluarganya. Maka di sini tersirat juga pesan yang sangat banal dan seringkali kita dengar: bahwa cinta akan selalu sulit, dan akan selalu ada perpisahan untuk tiap pertemuan. Dengan demikian, kita dapat menarik amanat untuk kenalilah dan apresiasilah segala bentuk cinta yang diberikan kepada kita, walaupun tentu tidak akan selalu menyenangkan, tetapi sudah sepantasnya kita menghargainya selagi masih ada.
Dalam refleksi ini saya secara pribadi merasakan, mengenali dan menemukan pengalaman estetik akan yang banal melalui film Lady Bird. Penggambarannya akan estetika banal sebagaimana yang sudah saya jelaskan berhasil menjadikannya sebagai sebuah karya sinema yang dapat terasa sangat nyata dan sangat dekat dengan kita, seperti seakan-akan semua kejadian dan emosi dalam film tersebut dapat benar-benar terjadi kepada siapapun dari kita. Berkat pengenalan akan estetika banal yang dihadirkan melalui film ini, saya juga dapat lebih menyadari dan mengapresiasi pengalaman-pengalaman estetis yang terletak pada banalitas kehidupan sehari-hari saya, sekaligus pada hubungan saya dengan sesama manusia. Karena film ini juga, saya terinspirasi untuk mengkaji lebih lanjut mengenai banalitas sebagai suatu kategori estetis dan menawarkannya sebagai sebuah pendekatan estetika yang bisa menggenggam kehidupan manusia dengan sempurna. Untuk ini layak, apabila saya ucapkan terimakasih kepada Greta Gerwig atas karya debutnya yang apik.
Kesimpulan
Sebagaimana yang telah saya rumuskan di bagian kedua dari tulisan ini, estetika sebagai sebuah kajian filosofis mengenai hal-hal yang berkenaan dengan persepsi berkelindan erat dengan variabel lainnya, yaitu properti-properti mental dari sang subjek penahu berupa perasaan yang melingkupi memori, emosi, intensi, dan segala atribut kesadaran lainnya. Melalui perasaan-perasaan inilah, kita dapat mengabstraksikan persepsi kita ke dalam konsep-konsep dan kategori-kategori estetik — alias pengalaman estetik. Maka disinilah letak estetika: ketika persepsi inderawi subjek terhubung dengan perasaannya, sehingga subjek mampu mengalami dan mengenali yang estetik.
Sebagaimana yang telah saya rumuskan pula, terlalu lama kita didominasi oleh konsep dan pendekatan estetika konvensional yang sifatnya terlalu biner, kaku dan orientalistik dalam konteks skena kehidupan manusia dunia kedua-ketiga. Dengan demikian, kita membutuhkan suatu konsep sekaligus pendekatan estetika baru, yaitu estetika banal yang telah saya tawarkan dan elaborasikan sepanjang tulisan ini.
Mengapa estetika banal? Karena melalui estetika banal, kita dapat mengenali dan menemukan keindahan dalam kegiatan kita, bersama dengan apa yang kita rasakan sehari-hari. Estetika banal memampukan kita untuk memandang keseharian kita tanpa harus berprasangka, mendikte atau memaksakan standar estetis kita kepadanya. Estetika banal memampukan kita untuk mengapresiasi hal-hal terkecil dalam kehidupan dan mencari makna di baliknya. Oleh karena itu, estetika banal memampukan kita untuk menangkap pengalaman estetis dan seni dalam hal-hal yang biasa, tanpa harus mencari sesuatu yang dramatis atau “luar biasa” sebagaimana yang dicari oleh estetika konvensional. Estetika banal lebih lanjut memampukan kita untuk mendekati realitas vernakular secara apa adanya, dengan pikiran terbuka, dan menggugah kita untuk lebih aktif berdialog, berhubungan dan memahami skena serta objek-objek di sekitar kita. Karena objek-objek di sekitar kita ini tentu tidak mungkin lepas dari sesama manusia, maka melalui estetika banal ini kita dapat memahami sesama manusia tidak hanya sebagai objek yang kita persepsikan dari luarannya, tetapi juga dari dalam perasaan dan pengalamannya. Oleh karena itu, estetika banal saya anggap juga sebagai estetika yang paling “merakyat” dan paling mampu memanusiakan secara universal: melalui estetika banal, estetika tidak lagi hanya tentang subjek yang mempersepsikan objek, tetapi kita juga mampu memahami subjek sebagai bagian dan kesatuan dari objek-objek disekitarnya, dan tidak sepenuhnya terlepas dari objek-objek tersebut. Maka seorang individu mampu memahami dirinya sebagai bagian dari kehidupan sehari-harinya, objek-objek yang ia liat setiap harinya, dan orang-orang yang ia temui dan berhubungan dengannya setiap harinya. Seorang individu juga, entah di mana ia berada dan kelas sosialnya, mampu mengalami estetika dan keindahan dalam kehidupannya. Oleh karena itu, estetika banal saya sebut juga sebagai estetika yang berasal dari, berproses melalui, dan juga untuk manusia. Melalui pendekatan estetika banal ini, saya harap kita bisa lebih menghayati posisi kita dalam kehidupan sehari-hari, lebih tertarik untuk berinteraksi dan berdialog dengan keseharian kita, dan lebih mengapresiasi apa yang kita rasakan terhadap dunia ini, betapapun banalnya dunia yang kita hidupi itu. Terima kasih.
Daftar Pustaka
Abimanyu, F. (2021, May 15). Lady Bird: Seni Banalitas Cinta dan Kehidupan | Suara Mahasiswa UI. Suara Mahasiswa UI. Diakses 17 Juni 2021 dari https://suaramahasiswa.com/lady-bird-seni-banalitas-cinta-dan-kehidupan
Banal. (n.d.). Pada KBBI Edisi V Daring, diakses 16 Juni 2021. https://kbbi.web.id/banal
Kusrini, K. (2016). Fotografi Jalanan: Membingkai Kota dalam Cerita. Journal of Urban Society’s Arts, 3(2), 102–109. doi:https://doi.org/10.24821/jousa.v3i2.1482
Prasetya, E. (2011, January 21). Estetika Banal oleh Erik Prasetya. I N T A K E s. Diakses 16 Juni 2021 dari ttps://ruimages.wordpress.com/2011/01/21/estetika-banal-erik-prasetya/
Ricci, B. (2021, January 9). The Aesthetic Of The Banal In Contemporary Art. Artland Magazine. Diakses 16 Juni 2021 dari https://magazine.artland.com/the-aesthetic-of-the-banal-in-contemporary-art/
Suryajaya, M. (2016). Sejarah Estetika: Era Klasik Sampai Kontemporer. Jakarta: Gang Kabel dan Indie Book Corner.
Shinkle, E. (2004). Boredom, Repetition, Inertia: Contemporary Photography and the Aesthetics of the Banal. Mosaic: An Interdisciplinary Critical Journal, 37(4), 165–184. Diakses 16 Juni 2021, dari http://remote-lib.ui.ac.id:2063/stable/44030032
TEDx Talks, & Prasetya, E. (2019, December 6). Invigorating Banal Aesthetics | Erik Prasetya | TEDxJakarta. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=WYNRr4T2WcQAbimanyu, F. (2021, May 15). Lady Bird: Seni Banalitas Cinta dan Kehidupan | Suara Mahasiswa UI. Suara Mahasiswa UI. Diakses 17 Juni 2021 dari https://suaramahasiswa.com/lady-bird-seni-banalitas-cinta-dan-kehidupan
Banal. (n.d.). Pada KBBI Edisi V Daring, diakses 16 Juni 2021. https://kbbi.web.id/banal
Kusrini, K. (2016). Fotografi Jalanan: Membingkai Kota dalam Cerita. Journal of Urban Society’s Arts, 3(2), 102–109. doi:https://doi.org/10.24821/jousa.v3i2.1482
Prasetya, E. (2011, January 21). Estetika Banal oleh Erik Prasetya. I N T A K E s. Diakses 16 Juni 2021 dari ttps://ruimages.wordpress.com/2011/01/21/estetika-banal-erik-prasetya/
Ricci, B. (2021, January 9). The Aesthetic Of The Banal In Contemporary Art. Artland Magazine. Diakses 16 Juni 2021 dari https://magazine.artland.com/the-aesthetic-of-the-banal-in-contemporary-art/
Suryajaya, M. (2016). Sejarah Estetika: Era Klasik Sampai Kontemporer. Jakarta: Gang Kabel dan Indie Book Corner.
Shinkle, E. (2004). Boredom, Repetition, Inertia: Contemporary Photography and the Aesthetics of the Banal. Mosaic: An Interdisciplinary Critical Journal, 37(4), 165–184. Diakses 16 Juni 2021, dari http://remote-lib.ui.ac.id:2063/stable/44030032
TEDx Talks, & Prasetya, E. (2019, December 6). Invigorating Banal Aesthetics | Erik Prasetya | TEDxJakarta. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=WYNRr4T2WcQ
Tulisan ini adalah unggahan telat dari paper yang saya tulis untuk mata kuliah Estetika, prodi Filsafat UI 2021. Paper asli dapat dilihat di https://www.academia.edu/49269896/ESTETIKA_BANAL_MENGENALI_KEINDAHAN_DALAM_KEHIDUPAN_SEHARI_HARI_DARI_MELALUI_DAN_UNTUK_MANUSIA_Studi_kasus_pengalaman_estetik_dalam_film_Lady_Bird_2017_karya_Greta_Gerwig.
Terima kasih secara khusus saya sampaikan untuk mas Erik Prasetya yang sudah sangat menginspirasi saya.